Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh..
Postingan pertama setelah sekian lamaaa, dan postingnya ga di Tanah Air lho~ *njuk ngopo?* hehehe
Sedikit curhatan, rangkuman setahun lalu, dan pengingat diri juga. Sekarang sudah 2,5 bulan tidak tinggal di kota penuh pembelajaran itu. Terima kasih untuk semua kisah, tawa, dan tetesan air mata *halah*
Percayalah sesungguhnya pengen nulis lebih banyaaak *pengen curhat lebih banyak lebih tepatnya. ealah*, tapi ini pun nulis karena pengen ikut writing competition terus dibatasi 5 halaman gitu. Jadilah dibuat singkat, padat, dan meski ga jelas hehehe
=====================================================================
Winter pertama:
Tuhan, mohon hangatkan imanku.
Sudah beberapa waktu yang lalu aku
tiba di sini, tempat baru yang memintaku untuk banyak beradaptasi. Sekarang
sudah tidak lagi mengawali hari dengan titik-titik air yang entah bagaimana
bisa keluar dari sudut-sudut mata. Di sini hari tidak diawali dengan sahutan
kumandang adzan, layar televisi tidak terkoneksi dengan siaran tausiyah pagi,
tidak terdengar ayam berkokok, dan dingin sekali. Mungkinkah itu yang
mengundang air mata? Entah.
Lepas habis rakaat shubuh aku
bergegas masuk kembali ke dalam selimut, lengkap dengan mukena yang sengaja
belum dilepas untuk melanjutkan dzikir serta tilawah tanpa bersuara. Sengaja
lampu kamar tidak pernah aku nyalakan saat ibadah shubuh, demi tidak mengganggu
teman sekamarku. Sampai nanti sinar matahari mengintip malu-malu dari jendela,
maka pagi di sini baru dimulai untuk hampir semua penduduknya. “Selamat pagi!”,
demikian aku dan teman sekamar akan saling menyapa.
“Hari ini kamu pakai jilbab warna
apa?”, hampir setiap pagi teman sekamarku antusias untuk tahu warna dan tipe
jilbab macam apa yang akan aku kenakan. Dengan binar mata yang selalu sama,
gadis cantik yang berbagi ruang denganku itu akan selalu memuji hijab yang aku
gunakan menutup aurat. Tapi sayangya pakaian yang aku bawa dari Tanah Air tidak
pernah cukup hangat untuk menemani musim dingin pertamaku di sini. Bagaimanapun
“tubuh tropis” ini tidak pernah merasa hangat, kecuali saat berrjarak kurang
dari sejengkal dengan penghangat ruangan.
Orang bilang, akan selalu ada
“pertama” dalam hidup ini. Pertama kali kamu menangis bersama nafas pertama
sesaat setelah kamu lahir, kemudian pertama-pertama selanjutnya yang bahkan
kamu tidak ingat rasa dan sensasinya. Di sini, pertama kali aku melihat dan
menyentuh salju. Bagaimana rasanya? Es serut, persis sama hanya jumlahnya yang
begitu banyak. Aku tidak tahu bagaimana menerangkan fenomena terjadinya salju,
yang aku tahu bahwa ciptaan-Nya begitu luar biasa. Kita bisa bersuci dengan
salju, karena hakikatnya benda putih tersebut suci dan mensucikan. Mungkin
nanti di musim-musim dingin selanjutnya, ketika tubuhku tidak lagi ringkih
terhadap dingin, aku ingin mencoba berwudhu dengan salju.
Hari itu turun salju lebat sejak
petang, sampai aku meninggalkan kampus salju masih turun dan bumi tertutup putih
sempurna. Aku berusaha hati-hati melangkah melewati salju yang tebal, tapi takdir
malam itu berkata: aku harus terpeleset. Salju yang menumpuk akan membeku
menjadi es dan membuat jalan licin. “Bagaimana kalau lepas saja rokmu? Ganti
dengan pakaian yang lebih nyaman. Di musim dingin dan banyak salju style pakaian kamu tidak cocok.”,
Profesor menasehatiku.
Tapi, aku merasa nyaman dengan
pakaian ini. Aku berusaha menjelaskan, “Mungkin aku terpeleset karena kurang
hati-hati. Nanti akan kubeli sepatu yang cocok dipakai di musim dingin dan
jalan licin.”. Berusaha lebih hati-hati untukku adalah jalan keluar yang baik
agar tidak jatuh lagi. Bukan dengan berpakaian lebih pendek, lebih ketat, apalagi
melanggar aturan agama yang kuyakini.
Spring pertama:
Semusim cinta penuh rasa syukur.
Musim dingin memaksa semua makhluk
di bumi harus sanggup bertahan hidup. Para binatang hibernasi dengan caranya
masing-masing, manusia berpakaian lebih hangat, serta pepohonan yang menyisakan
ranting-ranting polos tanpa daun hijau. Kemudian saat daun-daun kecil mulai
berani menampakkan diri dan kucup-kuncup bunga tumbuh, tahulah kita bahwa musim
semi akan segera datang. Ini musim semi pertama. Tidak hanya aku yang
menikmati, tapi penduduk sekitar juga berbahagia bisa bertemu dengan musim
semi. Bukan. Lebih tepatnya aku merasakan alam raya berbahagia melepas dingin
dan menyambut udara yang menghangat. Hadiah indah untuk semua yang bersabar
melewati dingin, selamat datang bunga-bunga.
Kalau kamu mungkin pernah menemukan
sesosok wanita berjalan lambat, hampir berhenti di setiap titik berbunga, serta
tidak berhenti merekah senyum dan berucap syukur..mungkin itu aku. Pada
dasarnya aku berjalan lebih lambat dari orang-orang di sini. Kemudian musim
semi ini membuat irama berjalanku menjadi semakin lambat. Perjalanan ke kampus
setiap pagi selalu membuatku ingin berlama-lama, kadang sengaja berputar supaya
lebih lama sampai tujuan. Demi bisa melihat warna-warni sekitar lebih lama dan
menghirup udara musim semi lebih banyak. Perjalanan pulang di malam hari pun tidak
kalah membahagiakan. Dalam cahaya temaram, bunga-bunga di sekitar mengundang
decak syukur yang tak berkesudahan. Dengan kamera handphone seadanya, sering aku berhenti di depan pohon berbunga
untuk mengambil gambar ciptaan indah-Nya. Sesekali aku mengirimkan foto kepada
saudara dan teman-teman di Tanah Air.
“Ada festival bunga di sini tanggal ini, ada
festival bunga di sana tanggal itu. Kamu mau datang?”, teman-teman seperantauan
menawari untuk menikmati musim semi di festival bunga. Tapi tidak sekarang, aku
tidak bisa meninggalkan kewajiban. Lebih dari cukup hadiah berbagai bunga yang
banyak sekali silih berganti, yang tidak habis dinikmati saat aku berangkat ke
kampus dan pulang di malam hari.
Dunia bilang wanita adalah sosok
yang dekat dengan bunga. Kemudian mawar merah dikata sebagai lambang
romantisme. Kuberi tahu sebuah rahasia konyol di masa lalu, bahwa aku adalah
wanita biasa yang pernah berkhayal tentang seikat mawar merah datang bersama
Pangeran. Tapi di musim semi ini khayalan itu dibubarkan dengan sebuah hadiah
istimewa. Aku merasa layaknya Tuan Putri. Selama hampir dua pekan mendapat pohon-pohon
penuh bunga mawar merah mekar sempurna, yang menyambut pagi dan mengantar
pulang setiap malam. Bukan lagi hanya seikat. Sungguh, Tuhan Maha Romantis.
Sayangnya letak geografis yang
dikelilingi banyak danau membuat daerah ini lebih dingin dan musim semi lebih
pendek terasa. Setelah dipertemukan dengan sakura pertama di awal musim semi,
bunga-bunga beraneka warna kemudian menghiasi pandanganku. Tapi aku tidak ingat
nama bunga-bunga tersebut. Yang kuingat, musim semi adalah sangat indah. Maha
indah. Sekali lagi aku ditegur untuk lebih banyak bersyukur, bahwa ciptaan dan
kasih sayang Tuhan terbentang pada bumi dan isinya. Maka nikmat Tuhanmu manakah
yang engkah dustakan?
Summer pertama:
Ketika tegar menjadi sebuah kesejukan.
“Kamu
akan tetap mengenakan jilbab dan baju panjang? Meski di musim panas?!”,
pertanyaan serupa sering diajukan kepadaku bahkan jauh-jauh hari sebelum musim
panas datang. Merekah senyum, anggukan lembut, dan menjelaskan bahwa di Tanah
Air aku terbiasa menutup aurat meski dalam cuaca panas. Demikian aku sealu
berusaha menjawab walaupun mereka tidak bisa paham atas pilihan hidupku. Sampai
terik matahari datang mengingatkan bahwa musim panas akan segera dimulai, maka
aku menjawab tanya mereka tanpa kata-kata.
Untuk
“tubuh tropis” yang dibesarkan bersama terik matahari dan keringat, musim panas
pertama ini cukup menjadi obat rindu pada cuaca di Tanah Air. Akhirnya di sini
aku bisa keluar dengan sandal dan tanpa jaket. Kadang suhu udara di luar memang
terlalu panas, tapi aku hampir selalu berada di dalam gedung dan ruangan yang
dilengkapi pendingin. Kelembaban udara yang meningkat menjadi sumber keluhan
membuat teman-teman di sini bertanya tentang hijabku. Tapi aku baik-baik saja,
malah pernah lebih berkeringat dan mandi tiga kali sehari di Tanah Air sana.
Selain
urusan menutup aurat, ada lagi yang membuat teman-teman sekitar tidak habis
bertanya. Adalah tentang puasa di bulan Ramadhan. Beruntunglah aku bisa beribadah di bulan suci ini, meski
jauh dari kampung halaman dan dengan rasa yang tidak pernah sama. Tidak perlu
menyebutkan betapa pedih dan payahnya Ramadhan ini, menyadari kesempatan
berjumpa bulan suci tahun ini harus lebih dari cukup untuk menegarkan. Musim
panas pertama ini mengajariku cara bersyukur dan memaknai sabar bisa beribadah puasa
dalam waktu yang lebih lama. Serta belajar menegarkan dan mengendalikan rindu
di dalam diri yang kian liar mendekati akhir Ramadhan.
Puasa
di bulan Ramadhan kali ini sekitar 18 jam, karena di musim panas matahari terbit
lebih awal dan tenggelam lebih akhir. “Ini bukan puasa pertamaku. Kalau memang
nanti keadaan tidak mendukung, aku tidak harus berpuasa. I will be fine.”, aku menjawab pertanyaan teman-teman sembari
meyakinkan diri sendiri. Bagaimana rasanya puasa bersama es krim dan patbingsu bertebaran sepanjang hari?
Nikmat sekali. Tapi sesungguhnya godaan kaum Adam berpuasa di musim panas jauh
lebih menegangkan. Bagaimana rasanya berpuasa di tengah para wanita yang
selayaknya tidak berpakaian? Mungkin nanti bisa dijawab oleh mereka.
Autumn pertama:
Mari belajar mempersiapkan diri.
Lagi-lagi karena letaknya yang
dikelilingi banyak danau, musim panas di sini terasa lebih terik dan lebih
lama. Setelah terbiasa keluar menggunakan sandal, hembusan angin musim gugur akhirnya
memberi peringatan untuk tidak lupa membawa
jaket ketika bepergian. Bagiku musim gugur pertama ini adalah musim semi
versi spektrum warna yang lebih sempit. Ketika daun-daun di pohon sempurna
berubah warna maka sekitar hanya akan menjadi kuning, orange, dan merah. Cantik
sekali. Dan sekali lagi alam raya menunjukkan kemegahannya, menyampaikan
keagungan Sang Pencipta. Tapi entah mengapa, musim gugur pertama ini berhawa
sendu.
Kemudian daun-daun akan mengering,
rapuh, dan kalah melawan gravitasi. Jatuh berguguran, patuh pada perintah
Penciptanya untuk menyiapkan diri demi menuju musim dingin. Musim dingin
berarti suhu udara menjadi sangat dingin dan kelembaban udara sangat rendah.
Hanya jenis tumbuhan tertentu yang sanggup bertahan di musim dingin tanpa harus
menggugurkan daunnya. “Coba kamu bayangkan kalau pohon-pohon itu tetap berdaun
dan lebat, padahal di musim dingin dia akan tertutup salju yang banyak dan
berat. Nanti akan banyak pohon tumbang bukan?”, demikian salah satu teman
memberi penjelasan singkat.
Aku
ingat, itu adalah pohon-pohon yang sama ketika musim semi lalu berbunga dengan
indahnya. Aku ingat, itu adalah pohon-pohon yang sama ketika musim panas lalu
terlihat amat tangguh berkawan terik matahari bersama daun-daun hijaunya. Tapi
musim gugur ini adalah masanya bagi mereka, untuk mempersiapkan diri menyambut
musim dingin. Apakah menyakitkan bagi mereka kehilangan bagian-bagian diri,
kehilangan pesona yang disuguhkan kepada orang banyak, atau kehilangan
kesempatan untuk mungkin bisa menebar manfaat dengan keadaan yang lengkap? Jawabannya
adalah sekarang Tuhan ingin mereka siap, agar pohon-pohon itu tetap indah dan
tetap tangguh nanti di musim-musim selanjutnya.
Musim
gugur ini menyadarkanku agar selalu siap untuk taat pada segala macam
kemungkinan dan kebetulan yang akan terjadi. Sesulit apapun nanti, aku hanya
harus siap. Karena sesungguhnya Tuhan mempersiapkan agar kita menjadi hamba
yang lebih baik. Bukankah untuk setiap
kesulitan akan datang kemudahan? Tidak hanya untuk aku dan kamu, tapi sungguh
janji itu akan ditepati untuk seluruh alam raya. Pohon-pohon di musim gugur ini
membuktikannya. Setelah kesulitan, akan datang kemudahan.
In memories of Chuncheon, Kangwon-do.
Thank you for the great and complete four-seasons.